surat terakhir waktu bongkar kenangan
Terlalu sakit untuk diungkapkan.
Terlalu jauh engkau dibayangkan.
Karena sebuah hubungan, entah diingkari atau tidak, jauh membawa kami ke lembah kesadaran akan realita hidup. Realita yang tidak sepenuhnya bisa kami terima, bisa kami atur, bisa kami mengerti. Dan semua itu mengendap di dalam hati lalu mengeras menjadi batu. Sebuah hubungan, yang terlanjur dalam, mengikat. Mengikat cinta kami menjadi sekuat baja. Dan dengan baja itulah kami lawan realita. Kami berjuang. Kau berjuang.
Lalu perjuangan itu semakin tumpul karena hidupmu ada di batas. Tuhan tidak pernah tidur, karena Ia selalu menyadarkan kita akan pentingnya perjuangan dalam hidup, walaupun ironi berkata lain. Menyerahlah pada-Nya. Meski semangat itu masih tersisa hingga kini di diriku. Bukan apa-apa, mengingatnya hanya mengundang lirih. Karena tanpa menepis batas itulah kita terpisah.
Tuhan sayang padamu. Mungkin juga padaku.
Kita tidak tahu. Hanya tidak tahu. Kita tahu ini yang terbaik.
Dan lantas semua mengalir melewati batas yang kita takutkan itu.
Takutkah kau ?
Aku tahu, aku yang lebih takut. Takut kehilangan. Aku bersalah. Maaf.
Salam untukmu.
Kalau mungkin, kita akan bertemu lagi nanti, suatu hari nanti, disana. Aku akan menatapmu dengan wajah yang baru. Wajah takdir. Wajah yang pernah kita hadapi bersama.
Dan dengan itulah kita tersenyum bersama, tanpa kepahitan.
Sayang, aku pulang.
Terlalu jauh engkau dibayangkan.
Karena sebuah hubungan, entah diingkari atau tidak, jauh membawa kami ke lembah kesadaran akan realita hidup. Realita yang tidak sepenuhnya bisa kami terima, bisa kami atur, bisa kami mengerti. Dan semua itu mengendap di dalam hati lalu mengeras menjadi batu. Sebuah hubungan, yang terlanjur dalam, mengikat. Mengikat cinta kami menjadi sekuat baja. Dan dengan baja itulah kami lawan realita. Kami berjuang. Kau berjuang.
Lalu perjuangan itu semakin tumpul karena hidupmu ada di batas. Tuhan tidak pernah tidur, karena Ia selalu menyadarkan kita akan pentingnya perjuangan dalam hidup, walaupun ironi berkata lain. Menyerahlah pada-Nya. Meski semangat itu masih tersisa hingga kini di diriku. Bukan apa-apa, mengingatnya hanya mengundang lirih. Karena tanpa menepis batas itulah kita terpisah.
Tuhan sayang padamu. Mungkin juga padaku.
Kita tidak tahu. Hanya tidak tahu. Kita tahu ini yang terbaik.
Dan lantas semua mengalir melewati batas yang kita takutkan itu.
Takutkah kau ?
Aku tahu, aku yang lebih takut. Takut kehilangan. Aku bersalah. Maaf.
Salam untukmu.
Kalau mungkin, kita akan bertemu lagi nanti, suatu hari nanti, disana. Aku akan menatapmu dengan wajah yang baru. Wajah takdir. Wajah yang pernah kita hadapi bersama.
Dan dengan itulah kita tersenyum bersama, tanpa kepahitan.
Sayang, aku pulang.
No comments: